Jumat, 18 November 2011

Feminis Kartini dan Sikap Ilmiah



Di antara nama feminis besar dunia yang sebagian besar ilmuwan, terdapat nama Kartini, satu-satunya dari Indonesia. Apa hubungan antara feminis, ilmuwan, dan cara berpikir ilmiah?

Barangkali seorang cendekia feminis pernah menjumpai pertanyaan, apakah studi perempuan itu ilmu atau bukan, di mana letak pohon ilmunya, mengapa penelitian harus berangkat dari pengalaman perempuan? Sengaja memilih masalah yang dihadapi perempuan, bukankah itu bias, tidak obyektif? Bukankah penelitian yang "berpihak" dapat dilakukan tanpa perspektif feminis?

Tentu saja ada banyak cara untuk menjawab pertanyaan di atas, seperti penjelasan tentang fakta ketertinggalan perempuan di segala bidang, diskriminasi, dan kekerasan yang dialami perempuan di ranah domestik maupun publik, yang bahkan didukung data statistik. Namun, yang paling penting adalah menunjukkan di mana letak studi perempuan dalam paradigma ilmu.

Memang betul studi perempuan sangat bersentuhan dengan persoalan praktis karena akan diakhiri dengan rekomendasi yang bertujuan meningkatkan hak-hak perempuan. Kedudukan paradigmatiknya membenarkan hal itu. Memang studi perempuan memilih "berpihak" kepada perempuan (korban), tetapi tetap harus bekerja secara ilmiah, mendasarkan diri pada penalaran akademis, kaidah ilmiah yang disepakati dalam standar dan prosedur ilmu pengetahuan. Berdasarkan studi ilmiah, barulah sejumlah rekomendasi dapat dibuat.

Seorang cendekia feminis tidak cukup bekerja di "menara gading". Ia seyogianya memiliki pengalaman dalam dunia aktivis, setidaknya "berkenalan" dengan gerakan masyarakat (Barbara Smith, 2003). Tanpa pengalaman itu akan menjadi problematis. Dia tidak paham dan merasakan apa yang sesungguhnya terjadi dan tidak dapat menyuarakan kenyataan yang dilihatnya demi perubahan sosial, politik, dan hukum. Teori dan praktik dalam studi perempuan memiliki hubungan dialektis dan tidak dapat dipisahkan.

Tidak mengherankan bila ada begitu banyak feminis besar lahir dari kalangan cendekia atau perempuan terdidik. Sekadar menyebut beberapa nama: Simone de Beauvoir (filsuf Perancis), Vandana Shiva (eko-feminis), Gayatri Spivac (filsuf), Nawal el-Saadawi (dokter, penulis, feminis Islam), Fatima Memissi (feminis Islam), dan Shirin Ebadi (ahli hukum dan aktivis peraih Nobel Perdamaian)

Hukum feminis

Dalam ilmu hukum terdapat teori hukum feminis (feminist legal theory), lahir dari para perempuan yang belajar di sekolah hukum di Amerika awal dekade 1970-an karena keprihatinan terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan dalam hukum. Kemudian mereka turut dalam pendampingan perempuan di pengadilan dan upaya reformasi hukum.

Dalam ilmu antropologi muncul perspektif feminis karena antropologi konvensional, yang bias Barat dan bias peneliti (laki-laki) mengabaikan keberadaan perempuan sebagai subyek penelitian. Para sosiolog feminis juga mengidentifikasi adanya bias berdasar jenis kelamin dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.

Mengoreksi

Para cendekia feminis menggugat ilmu pengetahuan (sosial) yang bias jender dan bertujuan mengoreksinya. Cara paradigma positivisme memandang realitas, manusia, ilmu, dan tujuan penelitian dianggap banyak melewatkan kesempatan mendapat pemahaman mendasar tentang hal-hal yang ditelitinya.

Demi terpenuhinya prinsip obyektivitas, generalisasi, dan diterapkannya prosedur yang ketat dalam menghitung hubungan di antara variabel, telah "dikorbankan" pemahaman mendalam yang dibutuhkan untuk dapat merepresentasi keutuhan masalah yang diteliti. Para positivis berpandangan, ilmu harus bebas nilai, sementara studi perempuan berpandangan tidak ada kebenaran tunggal dan memahami adanya beragam tafsir dan kebenaran.

Berbeda dengan paradigma positivisme yang secara deduktif berangkat dari teori, dalam studi perempuan sejumlah penjelasan ilmiah justru didapatkan dari kasus pengalaman perempuan. Kemudian dibangun argumentasi untuk menunjukkan pengabaian terhadap perempuan dalam teori maupun praktik kemasyarakatan.

Studi perempuan membangun pemikirannya berdasarkan kritik terhadap kelemahan paradigma positivisme dan karenanya ditempatkan pada paradigma kritis.

Kartini adalah seorang cendekia pada zamannya. Pemikiran feminis sudah dia baca sejak usia sangat muda. Buah pemikiran dan aktivitasnya berada dalam satu garis, ia sadar betul bahwa personal is political.

Setiap pilihan adalah sikap politik. Terbukti pemikirannya berdampak besar terhadap perubahan masyarakat, khususnya terbukanya kesempatan pendidikan bagi perempuan Indonesia pada zaman sesudah wafatnya.

Ia seorang feminis sejati tanpa kehilangan identitasnya sebagai perempuan Jawa yang santun (SI)
Tags: hari kartini
Prev: Maka Libatkan Perempuan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar