Jumat, 18 November 2011

Ketika Cinta Mengetuk

ketika cinta datang mengetuk, lalu pergi ketika pintu dibuka. apakah harus tetap menunggu untuk yang akan datang lagi? apakah itu yang dinamakan cinta? cinta macam apa? di balik mata seorang pria yang sepi kulitnya aku melihat cinta. apa yang telah nampak ternyata hanya fatamorgana belaka. sementara aku selalu merasakan cinta pada kulitku, sehingga mereka ikut terbawa keringat lalu mengering seketika. apakah itu yang dinamakan cinta? ataukah memang mataku yang belum melihatnya?

hidup bukan hanya untuk memikirkan cinta. betapa banyak airmata keluar hanya demi cinta. sejahat itukah dia?sampai-sampai manusia bisa menangis semalaman karena kecewa olehnya. lalu untuk apa?!diluar sana banyak debu, yang dibawa tiap kali angin berhembus. bagiku cinta hanya putih, bersih, suci, cantik, tidak berdebu. adanya cinta ya didalam sini, karena disini bebas debu, tiap pagi disapu dan dipel. maka sebutir debu saja akan nampak oleh mata. kalau begitu untuk apa pergi keluar kalau adanya cinta justru didalam sini? mencari cinta diluar, karena katanya diluar itu indah. hah! bohong! itu kamuflase belaka! kata siapa diluar itu indah?diluar itu dunia, dunia itu semu. dunia memiliki 1001 macam cara untuk menampakkan keindahan. keindahan semu. kata siapa cinta membutuhkan keindahan? memang keindahan itu apa sih? kalau cuma mau merasakan keindahan, ya jangan bawa-bawa nama cinta atuh! karena cinta itu lapang, dia berjiwa besar dalam menghadapi realitas. cinta bukan meminta, tapi memberi sebelum orang-orang kelaparan. lalu bagaimana dengan realitas kehidupan? bahwa hidup butuh makan? butuh duit gitu? ya emang begitu, makanya hidup bukan hanya untuk memikirkan cinta. cinta bukan untuk dipuja, didewa-dewakan. lalu untuk diapakan? entah. tapi coba deh, pikirkan hal-hal lain selain cinta, tapi dengan hati terbuka dan bersih seperti di dalam rumah yang setiap pagi disapu dan dipel. kau tahu, ternyata cinta akan datang dengan sendirinya. karena dia itu pada dasarnya putih, bersih, suci, cantik,dan tidak berdebu. cinta yang sebenarnya itu, yang sejati itu, akan datang mengetuk pintu, mungkin membawa setangkai mawar dan sekotak coklat. entahlah, banyak hadiah yang tak terduga yang dapat cinta berikan. dan dia tak akan pergi ketika pintu dibuka. karena dia tulus. barulah disitu akan terlihat suatu keindahan yang hakiki.

Cintaku Pada Cinta


Kadang aku jatuh cinta. Entah pada siapa. Hanya mencinta tanpa dicintai. Rindu pada sesuatu yang tak ada. Mungkin aku hanya mencintai rasa yang tumbuh, euphoria yang membuncah, bermain bersamanya, kemudian meninggalkannya jika bosan. Namun akan selalu kembali untuk mencintai. Aku tak juga jera mencinta.

Indah. Aku cinta diriku ketika aku jatuh cinta. Jiwaku benyanyi riang. Kehangatan menyelusup masuk dalam batinku. Duniaku mekar. Harum yang selalu kucari. Matahari hanya menyinariku. Hujan tercipta untukku, dan pelangi tersenyum padaku. Hanya aku. Langkahku ringan. Tidak, aku tak melangkah ketika jatuh cinta. Aku melayang bersama angin. Hinggap di tempat yang kusuka. Berpijak di tanah yang kuinginkan. Bersua dengan euphoria kembali dan melambaikan selamat tinggal pada luka. Tinggal di sana sampai aku ingin pergi. Lagi. Dan angin kembali menghantarku. Ia sahabatku yang paling setia.

Namun aku benci ketika aku tak mencinta. Aku hampa. Jiwaku terbang bersama angin tanpa diriku. Aku sendirian. Aku bosan. Aku kesepian menunggu kapan jiwaku kembali. Luka yang kutinggalkan kembali menyapaku. Membawa sakit menusuk. Merobek hati kosong yang ditinggalkan oleh jiwaku. Hanya dingin dan pedih yang dapat kurasakan. Aku ingin kehangatan itu kembali.

Jatuh cintaku manis. Memenuhi ruang yang kosong. Memanaskan darahku. Menyejukkan batinku. Aku selalu rindu jatuh cinta. Aku ingin terus jatuh cinta. Aku tak ingin tak lagi bisa mencinta.

Hanya saja, saat ini aku tak bisa mencinta. Jiwaku tengah berkelana seorang diri. Mungkin menemui sesosok jiwa lain dalam kehampaan yang ia tinggalkan untukku. Jika angin hendak menyampaikan, aku titip salam cinta untuk jiwaku yang tengah bercengkrama. Ketika jiwaku kembali, aku ingin ia bercerita tentang rendezvous-nya. Dan suatu saat nanti, angin akan kembali mengantarku. Dipandu oleh jiwaku. Bertemu jiwa yang sering bersua jiwaku dalam kehampaan. Namun kali ini aku berjumpa tidak dalam kehampaan, melainkan dalam kehangatan cinta. Aku hinggap di sampingnya dan tak lagi pergi. Angin hanya menghantarku sekali jalan. Tak membawaku pulang. Lalu, akankah aku berhenti jatuh cinta?



BERCERMIN DIR

Tatkala kudatangi sebuah cermin
Tampak sesosok yang sangat lama kukenal dan sangat sering kulihat
Namun aneh, sesungguhnya aku belum mengenal siapa yang kulihat

Tatkala kutatap wajah, hatiku bertanya, Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya dan bersinar indah di surga sana?
Ataukah wajah ini yang akan hangus legam di neraka jahanam?

Tatkala kutatap mata , nanar hatiku bertanya,
Mata inikah yang akan menatap penuh kelezatan dan kerinduan ...
Menatap Allah, menatap Rasulullah, menatap kekasih-kekasih Allah kelak?
Ataukah mata ini yang terbeliak, melotot, menganga , terburai menatap neraka jahanam ...
Akankah mata penuh maksiat ini akan menyelamatkan?
Wahai mata, apa gerangan yang kau tatap selama ini?
Tatkala kutatap mulut, apakah mulut ini yang kelak akan  mendesah  penuh  kerinduan ... mengucap laa ilaaha ilallah saat malaikat maut datang menjemput?
Ataukah menjadi mulut menganga dengan lidah menjulur, dengan lengking jeritan pilu yang akan mencopot sendi-sendi setiap pendengar.
Ataukah mulut ini menjadi pemakan buah zaqun jahanam ... yang getir penghangus, penghancur setiap usus.
Apakah gerangan yang engkau ucapkan wahai mulut yang malang?
Berapa banyak dusta yang engkau ucapkan?
Berapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang meringis tajam?
Berapa banyak kata-kata manis semanis madu yang palsu yang engkau ucapkan untuk menipu?
Betapa jarang engkau jujur.
Betapa langkanya engkau syahdu memohon agar Tuhan mengampunimu.

Tatkala kutatap tubuhku.
Apakah tubuh ini kelak yang akan penuh cahaya ...
Bersinar, bersukacita, bercengkrama di surga?
Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur, mendidih di dalam lahar membara jahanam, terpasung tanpa ampun, derita yang tak pernah berakhir.
Wahai tubuh, berapa banyak maksiat yang engkau lakukan?
Berapa banyak orang-orang yang engkau zalimi dengan tubuhmu?
Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu?
Berapa banyak perindu pertolongan yang engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu?
Berapa banyak hak-hak yang engkau rampas?

Ketika kutatap hai tubuh
Seperti apa gerangan isi hatimu
Apakah isi hatimu sebagus kata-katamu?
Atau sekotor daki-daki yang melekat di tubuhmu?
Apakah hatimu segagah ototmu?
Atau selemah daun-daun yang mudah rontok?
Apakah hatimu seindah penampilanmu?
Atau sebusuk kotoran-kotoranmu?
Betapa beda ... betapa beda ... apa yang tampak di cermin dengan apa yang tersembunyi ...
Betapa beda apa yang tampak di cermin dengan apa yang tersembunyi.
Aku telah tertipu, aku tertipu oleh topeng
Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah topeng belaka
Betapa pujian yang terhambur hanyalah memuji topeng
Betapa yang indah ternyata hanyalah topeng ...
Sedangkan aku ... hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus
Aku tertipu, aku malu ya Allah
Allah ... selamatkan aku ...
Amin ya Rabbal `alamin.

Abdullah Gymnastiar











MEMULAI DARI 3M

  1. Mulailah dari diri sendiri. Bagaimanapun juga kita tidak bisa mengubah orang lain tanpa diawali dengan mengubah diri sendiri. Jangan menyuruh orang sebelum menyuruh diri sendiri dan jangan melarang orang sebelum melarang diri.  Jikalau kita awali dari diri sendiri, setiap perkataan insya Allah akan menjadi kekuatan yang menggugah dan merubah.
  2. Mulailah dari hal yang kecil. Sesuatu yang besar adalah rangkaian dari yang kecil. Dengan kata lain, kalau kita belum bisa berbuat sesuatu yang besar, lakukan hal-hal yang kecil. Kalau kita terbiasa melakukan hal kecil dengan baik, niscaya Allah akan memberikan kesempatan untuk melakuka hal yang besar dengan cara yang terbaik.
  3. Mulailah dari saat ini. Kita tidak tahu apakah kita masih memiliki waktu atau tidak, Allah-lah Yang Mahatahu ajal kita. Oleh karena itu, manfaatkan setiap kesempatan agar efektif menjadi kebaikan.

KIAT MENGGAPAI SUKSES ( 7 B )

  1. BERIBADAH DENGAN BENAR DAN ISTIQAMAH. Diawali dengan memahami agama dengan benar lalu mengamalkannya dengan konsisten sebagai pengokoh keimanan.  Karena tanpa keimanan yang kuat, bagai bangunan tanpa pondasi akan mudah oleng dan roboh.
  2. BERAKHLAK BAIK. Ketahuilah nilai keislaman dan keimanan kita cirinya adalah kemulian akhlak, yaitu menyikapi kejadian apapun dengan sikap terbaik yang diridhai Allah Swt.
  3. BELAJAR DAN BERLATIH TIADA HENTI. Segala sesuatu senantiasa berubah, bagaimana mungkin kita bisa menyikapinya dengan baik apabila ilmu, pengalaman, dan wawasan tak bertambah. Kuncinya belajar dan berlatih tiada henti.
  4. BEKERJA KERAS DENGAN CERDAS. Allah telah menyediakan segala yang terbaik untuk kebahagian dan kemuliaan kita. Kita hanya tinggal menjemputnya, namun harus dengan kerja keras yang cerdas dan ikhlas.
  5. BERSAHAJA DALAM HIDUP. Hidup bersahaja akan meringankan beban hidup, bebas penyakit riya, tak didengki, dan aman. Di samping itu juga akan disukai, dihormati, ringan hisabnya, disukai Allah, serta makin leluasa dalam menafkahkannya.
  6. BANTU SESAMA. Mulailah dari sanak saudara, tetangga terdekat, lalu lingkungan kita. Ingatlah sebaik-baik manusia adalah manusia yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi sesama, itulah kemuliaan yang dijanjikan Nabi kita.
  7. BERSIHKAN HATI SELALU. Ingatlah, tak ada artinya segala kesuksesan yang dicapai apabila menjadi ujub, riya, dan takabur. Oleh karena itu, selalu jaga kebersihan hati karena Allah hanya menyukai orang yang berhati bersih.

Sukses Adalah Ketika Kita Bisa Berjumpa Dengan Allah Di Akhirat Nanti.


Cerpen "Anak Kebanggaan"

Semua orang, tua-muda, besar-kecil, memanggilnya Ompi. Hatinya akan kecil bila di panggil lain. Dan semua orang tak hendak mengecilkan hati orang tua itu.
Di waktu mudanya Ompi menjadi klerk di kantor Residen. Maka sempatlah ia mengumpulkan harta yang lumayang banyaknya. Semenjak istrinya meninggal dua belas tahun berselang, perhatiannya tertumpah kepada anak tunggalnya, laki-laki. Mula-mula si anak di namainya Edward. Tapi karena raja Inggris itu turun takhta karena perempuan, ditukarnya nama Edward jadi Ismail. Sesuai dengan nama kerajaan Mesir yang pertama. Ketika tersiar pula kabar, bahwa ada seorang Ismail terhukum karena maling dan membunuh, Ompi naik pitam. Nama anaknya seolah ikut tercemar. Dan ia merasa terhina. Dan pada suatu hari yang terpilih menurut kepercayaan orang tua-tua, yakin ketika bulan sedang mengambang naik, Ompi mengadakan kenduri. Maka jadilah Ismail menjadi Indra Budiman. Namun si anak ketagihan dengan nama yang dicarinya sendiri, Eddy.
Ompi jadi jengkel. Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal di tambah di belakangnya dengan Indra Budiman itu. Tak beralih lagi. Namun dalam hati Ompi masih mengangankan suatu tambahan nama lagi di muka nama anaknya yang sekarang. Calon dari nama tambahan itu banyak sekali. Dan salah satunya harus dicapai tanpa peduli kekayaan akan punah. Tapi itu tak dapat dicapai dengan kenduri saja. Masa dan keadaanlah yang menentukan. Ompi yakin, masa itu pasti akan datang. Dan ia menunggu dnegan hati yang disabar-sabarkan. Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti menjadi kenyataan. Dia yakin itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka namanya sekarang. Atau salah satu titel yang mentereng lainnya. Ketika Ompi mulai mengangankan nama tambahan itu, diambilnya kertas dan potlot. Di tulisnya nama anaknya, dr. Indra Budiman. Dan Ompi merasa bahagia sekali. Ia yakinkan kepada para tetangganya akan cita-citanya yang pasti tercapai itu.
"Ah, aku lebih merasa berduka cita lagi, karena belum sanggup menghindarkan kemalangan ini. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti dapat tertolong," katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit.
Dan kalau Ompi melihat ada orang membuat rumah, lalu ia berkata, "Ah sayang. Rumah-rumah orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah menjadi insinyur, pastilah ia akan membantu mereka membuat rumah yang lebih indah."
Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin, bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya tercapai pasti. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungo ijazah yang berangka baik.
Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi berlinang kegembiraan. "Ah, Anakku," katanya pada diri sendiri, "Aku bangga, Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau disegani orang. Oooo, perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim, Anakku. Mengapa tidak?"
Dan semenjak itu Ompi kurang punya kesabaran oleh kelambatan jalan hari. Seperti calon pengantin yang sedang menunggu hari perkawinan. Tapi semua orang tahu, bahkan tidak menjadi rahasia lagi bahwa cita-cita Ompi hanyalah akan menjadi mimpi semata. Namun orang harus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua itu tak hendak percaya. Malah ia memaki dan menuduh semua manusia iri hati akan kemajuan yang di capai anaknya. Dan segera ia mengirim uang lebih banyak, tanpa memikirkan segala akibatnya. Dan itu hanya semata untuk menantang omongan yang membusukkan nama baik anaknya.
"Sekarang kau diomongi orang-orang yang busuk mulut, Anakku. Tapi ayah mengerti, kalau mereka memfitnahmu itu karena mereka iri pada hidupmu yang mentereng. Cepat-cepatlah kau jadi dokter, biar kita sumpal mulut mereka yang jahat itu," tulisnya dalam sepucuk surat.
Dan akhirnya orang jadi kasihan pada Ompi. Tak seorang pun lagi membicarakan Indra Budiman padanya. Malah sebaliknya kini, semua orang seolah sepakat saja untuk memuji-muji.
"Ooo, anak Ompi itu. Bukan main dia. Kalau tidak ke sekolah, tentu menghafal di rumah," kata seseorang yang baru pulang dari Jakarta menjawab tanya Ompi.
"Ke sekolah? Kenapa ke sekolah dia?" Ompi merasa tersinggung. "Kalau studen tidak menghafal, tahu? Tapi studi. Tidak ke sekolah. Tapi kuliah."
"O, ya, ya, Ompi. Itulah yang kumaksud."
"Aku sudah kira Indra Budiman, anakku anak baik. Ia pasti berhasil. Aku bangga sekali. Ah, kau datanglah ke rumahku makan siang. Aku potong ayam."
Dan oleh perantau pulang lainnya dikatakan kepada Ompi. "Siapa yang tak kenal dia. Indra Budiman. Seluruh Jakarta kenal. Seluruh gadis mengharap cintanya."
Lalu Ompi geleng-geleng kepala dengan senyumnya. "Bukan main. Bukan main. Indra Budiman anakku itu. Ia memang anak tampan. Perempuan mana yang tak tergila-gila kepadanya. Ha ha ha. Ah, datanglah kau ke rumahku nanti. Ada oleh-oleh buatmu."
Kemudian kalau Ompi ketemu gadis cantik yang di kenalnya, ditegurnya: "Hai, kaukenal anakku, studen dokter itu, bukan? Nanti kalau ia pulang, aku perkenalkan padamu. Biar kau dipinangnya. Ha ha ha."
Si gadis tentu saja merah mukanya, karena merasa tersinggung. Tapi menurut Ompi, muka merah itu karena malu tersipu. Dan ia jadi tambah gembira.
Akan tetapi ketika Ompi tahu aku bakal kawin, dia dapat ilham baru. Dia pun merasa pula, bahwa Indra Budiman sudah patut di tunangkan. Dan pada sangkanya, tentu Indra Budiman akan hembora dan bertambah rajin menuntut ilmu, sebagai imbangan budi baik ayahnya yang tak pernah melupakan segala kebutuhan anaknya. Dan diharapkannya pula kedatangan orang-orang meminang Indra Budimannya. Karena di kampung kami pihak perempuanlah yang datang meminang. Sudah tentu harapan Ompi tinggal harapan saja. Tapi Ompi tak mau mengerti. Sikap keangkuhannya mudah tersinggung. Dan bencinya bukan kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik. Bahkan bukan kepalang meradangnya Ompi, jika ia tahu orang-orang mengawinkan anak gadisnya yang cantik tanpa mempedulikan Indra Budiman lebih dulu. Tak masuk akal, orang-orang tak menginginkan anaknya, si calon dokter itu. Lama-lama rasa dendamnya pada mereka bagai membara. "Awaslah nanti. Kalau Indra Budimanku sudah menjadi dokter, akan kuludahi mukamu semua. Sombong."
Anak Kebanggaan
Kepada Indra Budiman tak dikatakannya kemarahannya itu. Malah sebaliknya. Dikatakannya, banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua telah ditolak. Karena menurut keyakinannya, Indra Budimannya lebih mementingkan studi daripada perempuan. Apalagi seorang studen dokter tentu takkan mau dengan gadis kampungan yang kolot lagi. "Pilihlah saja gadis di Jakarta, Anakku. Gadis yang sederajat dengan titelmu kelak," penutup suratnya.
Celakanya Indra Budiman yang selama ini menyangka bahwa tak mungkin ia dimaui oleh orang kampungnya, lantas jadi membalik pikirannya. Ia jadi sungguh percaya, bahwa sudah banyak orang yang dtaang melamarnya. Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya. Lupa ia bahwa semua mata orang kampungnya yang tinggal di Jakarta selalu saja mempercermin hidupnya yang bejat. Sejak itu berubahlah letak panggung sandiwara. Jika dulu si anak yang berbohong, si ayah yang percaya, maka kini si ayah yang menipu, si anak yang percaya. Lalu si anak mengharapkan kepada ayahnya supaya dikirimu foto-foto gadis yang dicalonkan.
Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan. Bahkan juga tidak peduli ia apa gadis itu sudah meninggal. Ia kirim terus dengan harapan semoga anaknya tidak berkenan. Dan alangkah gembiranya Ompi, andaikata tidak ada sebuah pun dari foto-foto itu yang berkenan di hati anaknya. Disamping itu ia sadar juga, bahwa kepalsuan sandiwaranya sudah tentu akan berakhir juga pada suatu masa. Anaknya pasti lama-lama tahu dan dengan begitu akan timbul kesulitan lain yang tak mudah di selesaikan.
Tapi rupanya Tuhan mengasihi ayah yang sayang kepada anaknya. Persis ketika Ompi kehabisan foto para gadis itu, dengan tiba-tiba saja surat Indra Budiman tak datang lagi. Antara rusuh dan lega, Ompi gelisah juga menanti surat dari anaknya. Layaknya macan lapar yang terkurung menunggu orang memberikan daging. Pasai ia menunggu, dikiriminya surat. Ditunggunya beberapa hari. Tapi tak datang balasan. Dikiriminya lagi. Ditunggunya. Juga tak terbalas. Dikirim. Ditunggu. Selalu tak berbalas. Bulan datang, bulan pergi, Ompi tinggal menunggu terus.
Pada suatu hari yang tak baik, di kala Ompi sudah mulai putus asa, datanglah Pak Pos dengan di tangannya segenggam surat. Maka darah Ompi kencang berdebar. Gemetar karena ia bahagia. Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena ternyata pengantar surat itu Cuma mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan. Ia tak percaya bahwa surat-suratnya itu kembali. Ia seperti merasa bermimpi dan tubuhnya serasa seringan kapas yang melayang di tiup angin. Dibalik-baliknya surat itu berulang kali. Lalu di bukanya dan dibacanya satu persatu. Dan tahulah ia, bahwa semuanya memang surat untuk anaknya yang ia kirimkan dulu. Tapi ia tak meyakininya dengan sungguh-sungguh. Malah ia coba meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia sedang bermimpi. Dan berdoalah ia kepada Tuhan, agar apa yang terjadi adalah memang mimpi.
Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh seleranya yang patah, Ompi bertambah menderita jua. Lahir dan batin. Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari anaknya, Indra Budimannya. Seluruh hidupnya bagai jadi meredup seperti lampu kemersikan sumbu. Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak. Tapi matanya selalu lebar terbuka memandang langit-langit kelambu. Mata itu kian hari semakin jadi besar tampaknya oleh badannya yang kian mengurus. Tapi mata yang lebar itu tiada cemerlang. Redup.
Akan tetapi setiap sore, diantara jam empat dan jam lima, Ompi kelihatan seperti orang sakit yang bakal sembuh. Dan ia sanggup berdiri dan melangkah ke pintu depan. Dan cahaya matanya kembali bersinar-sinar. Karena pada jam itu biasanya Pak Pos biasanya mengantarkan surat-surat ke alamatnya masing-masing. Tapi saat-saat seperti itu, yang membiarkan masa bahagia dan harapan, adalah juga masa yang menambah dalam luka hatinya, hingga lebih meroyak. Sebab selamanya Pak Pos itu tak mampir lagi membawakan surat dari Indra Budiman. Dan kalau Pak Pos itu telah lewat tanpa singgah, reduplah lagi mata Ompi.
Namun kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu ketika Ompi jadtuh terduduk. Lama orang baru tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore. Ia kini menanti dengan telentang di ranjangnya. Sebuah kaca disuruhnya supaya di pasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan, sehingga ia akan serta-merta dapat melihat Pak Pos mengantarkan surat Indra Budiman. Dan semenjak itu, pada setiap jam empat hingga jam lima sore, matanya akan menatap ke kaca itu. Hanya di waktu itu saja. Sedangkan di waktu lain Ompi seolah tak peduli pada segalanya.
Kami tak pernah lagi memanggil dokter setelah tiga kali ia datang. Karena kedatangan dokter hanya akan memperdalam luka hatinya saja. Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat. Kedatangan seorang dokter di pandangnya sebagai suatu sindiran, bahwa anaknya masih juga belum berhasil menjadikan cita-citanya tercapai.
Ketika terakhir aku menemui dokter yang sudah enggan datang, dokter hanya menggelengkan kepala saja. "Aku tak mampu mengobatinya lagi. Carilah dokter lain saja. Atau bawa ia ke rumah sakit. Kalau semua tak mungkin, jangan tinggalkan dia sendirian. Bila perlu, meski dengan resiko besar, bangunkanlah kembali mahligai angan-angannya."
Semenjak itu, berganti-ganti orang aku menyediakan diriku selalu dekat Ompi. Aku sadar, bahwa tiada harapan lagi buatnya hidup lebih lama. Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berlangsung. Karena aku takut berita itu akan menambah dalam penderitaannya. Di samping itu secara samar-samar aku elus terus harapannya yang indah bila Indra Budiman kembali. Kukarang cerita masa lalu dan angan-angan masa depan yang menyenangkan. Kuceritakan dengan hati yang kecut.
Aku pun tahu, tidak ada gunanya semua. Hanya satu yang dikehendakinya. Surat dari Indra Budiman. Surat yang mengatakan bahwa ia sudah lulus dan telah mendapat titel dokterya. Kadang-kadang terniat olehku hendak menulis sendiri surat itu. Tapi aku selamanya bimbang, malahan takut, kalau-kalau permainan itu akan berakibat yang lebih fatal. Maka tak pernah aku coba menulisnya.
Anak Kebanggaan
Pada suatu hari terjadilah apa yang kuduga bakal terjadi. Tapi tak kuharapkan berlangsungnya. Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam sebelas siang. Aku tahu itu pastilah bukan surat yang dibawanya. Melainkan sepucuk telegram. Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat kritis sekali. Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk mengetahui isinya lebih dulu. Dan jika perlu akan kuubah isinya. Agar terelakkan saat-saat yang menyeramkan.
Akan tetapi semua kejadian datang dengan serba tiba-tiba. Hingga gagallah recanaku. Tak sempat aku membuka surat itu. Karena di luar segala dugaanku, Ompi yang sudah lumpuh selama ini, telah berada saja di belakangku. Sesaat ketika aku menerima dan menandatangani resi telegram itu. Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya berpegang pada sandaran kursi. Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan mataku sendiri. Kekuatan apakah yang menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak tahu.
"Bukalah. Bacakan segera isinya." Ompi berkata seperti ia memerintah orang-orang di waktu mudanya dulu.
Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal.
"Telegram dari anakku? Apa katanya? Pulanglah dia membawa titel dokternya?" Ompi bertanya dengan suara yang mendesis tapi terburu-buru berdesakan keluar.
Tak tahulah aku, apa yang harus kukatakan. Dan kuharapkan sebuah keajaiban yang diberikan Tuhan untuk membebaskan aku dari siksa ini. Tapi keajaiban tidak juga datang. Aku mengangguk. Sedang dalam hatiku berteriak, terjadilah apa yang akan terjadi.
Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. Tangannua diulurkannya kepadaku meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi aku tak bisa berbuat lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu didekapkan ke dadanya. "Datang juga apa yang kunantikan," katanya.
Sepi begitu menekan, sehingga aku dapat mendengar denyut jantungku sendiri.
"Ah, tidak. Aku takkan membaca telegram ini. Aku takut kegembiraankuakan meledakkan hatiku. Kaubacakan buatku. Bacakan pelan-pelan. Biar sepatah demi sepatah bisa menjalari segala sarafsarafku," kata Ompi dengan terputus-putus.
Dalam kegugupan kususun sebuah taruhan jiwa dan sesalam bagi selama hidupku. Akan kukarang kisah yang menyenangkan hatinya. Tapi telegram itu tak diberikannya padaku. Masih terletak pada dekapan dadanya. Sedangkan bibirnya membariskan senyum, serta matanya menyinarkan cahaya yang cemerlang.
"Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh kebahagiaan yang datang bergulung ini. Aku mau sehat. Mau kuat dulu. Sehingga ledakan kegembiraan ini tak membunuhku. Panggilkan dokter. Panggilkan. Biar aku jadi segar bugar pada waktu anakku, Dokter Indra Budiman, datang. Pergilah. Panggilkan dokter," kata Ompi dengan gembira.
Dan telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra. Lama diciumnya seraya matanya memicing. Selama tangannya sampai terkulai dan matanya terbuka setelah kehilangan cahaya. Dan telegram itu jatuh dan terkapar di pangkuannya.

Feminis Kartini dan Sikap Ilmiah



Di antara nama feminis besar dunia yang sebagian besar ilmuwan, terdapat nama Kartini, satu-satunya dari Indonesia. Apa hubungan antara feminis, ilmuwan, dan cara berpikir ilmiah?

Barangkali seorang cendekia feminis pernah menjumpai pertanyaan, apakah studi perempuan itu ilmu atau bukan, di mana letak pohon ilmunya, mengapa penelitian harus berangkat dari pengalaman perempuan? Sengaja memilih masalah yang dihadapi perempuan, bukankah itu bias, tidak obyektif? Bukankah penelitian yang "berpihak" dapat dilakukan tanpa perspektif feminis?

Tentu saja ada banyak cara untuk menjawab pertanyaan di atas, seperti penjelasan tentang fakta ketertinggalan perempuan di segala bidang, diskriminasi, dan kekerasan yang dialami perempuan di ranah domestik maupun publik, yang bahkan didukung data statistik. Namun, yang paling penting adalah menunjukkan di mana letak studi perempuan dalam paradigma ilmu.

Memang betul studi perempuan sangat bersentuhan dengan persoalan praktis karena akan diakhiri dengan rekomendasi yang bertujuan meningkatkan hak-hak perempuan. Kedudukan paradigmatiknya membenarkan hal itu. Memang studi perempuan memilih "berpihak" kepada perempuan (korban), tetapi tetap harus bekerja secara ilmiah, mendasarkan diri pada penalaran akademis, kaidah ilmiah yang disepakati dalam standar dan prosedur ilmu pengetahuan. Berdasarkan studi ilmiah, barulah sejumlah rekomendasi dapat dibuat.

Seorang cendekia feminis tidak cukup bekerja di "menara gading". Ia seyogianya memiliki pengalaman dalam dunia aktivis, setidaknya "berkenalan" dengan gerakan masyarakat (Barbara Smith, 2003). Tanpa pengalaman itu akan menjadi problematis. Dia tidak paham dan merasakan apa yang sesungguhnya terjadi dan tidak dapat menyuarakan kenyataan yang dilihatnya demi perubahan sosial, politik, dan hukum. Teori dan praktik dalam studi perempuan memiliki hubungan dialektis dan tidak dapat dipisahkan.

Tidak mengherankan bila ada begitu banyak feminis besar lahir dari kalangan cendekia atau perempuan terdidik. Sekadar menyebut beberapa nama: Simone de Beauvoir (filsuf Perancis), Vandana Shiva (eko-feminis), Gayatri Spivac (filsuf), Nawal el-Saadawi (dokter, penulis, feminis Islam), Fatima Memissi (feminis Islam), dan Shirin Ebadi (ahli hukum dan aktivis peraih Nobel Perdamaian)

Hukum feminis

Dalam ilmu hukum terdapat teori hukum feminis (feminist legal theory), lahir dari para perempuan yang belajar di sekolah hukum di Amerika awal dekade 1970-an karena keprihatinan terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan dalam hukum. Kemudian mereka turut dalam pendampingan perempuan di pengadilan dan upaya reformasi hukum.

Dalam ilmu antropologi muncul perspektif feminis karena antropologi konvensional, yang bias Barat dan bias peneliti (laki-laki) mengabaikan keberadaan perempuan sebagai subyek penelitian. Para sosiolog feminis juga mengidentifikasi adanya bias berdasar jenis kelamin dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.

Mengoreksi

Para cendekia feminis menggugat ilmu pengetahuan (sosial) yang bias jender dan bertujuan mengoreksinya. Cara paradigma positivisme memandang realitas, manusia, ilmu, dan tujuan penelitian dianggap banyak melewatkan kesempatan mendapat pemahaman mendasar tentang hal-hal yang ditelitinya.

Demi terpenuhinya prinsip obyektivitas, generalisasi, dan diterapkannya prosedur yang ketat dalam menghitung hubungan di antara variabel, telah "dikorbankan" pemahaman mendalam yang dibutuhkan untuk dapat merepresentasi keutuhan masalah yang diteliti. Para positivis berpandangan, ilmu harus bebas nilai, sementara studi perempuan berpandangan tidak ada kebenaran tunggal dan memahami adanya beragam tafsir dan kebenaran.

Berbeda dengan paradigma positivisme yang secara deduktif berangkat dari teori, dalam studi perempuan sejumlah penjelasan ilmiah justru didapatkan dari kasus pengalaman perempuan. Kemudian dibangun argumentasi untuk menunjukkan pengabaian terhadap perempuan dalam teori maupun praktik kemasyarakatan.

Studi perempuan membangun pemikirannya berdasarkan kritik terhadap kelemahan paradigma positivisme dan karenanya ditempatkan pada paradigma kritis.

Kartini adalah seorang cendekia pada zamannya. Pemikiran feminis sudah dia baca sejak usia sangat muda. Buah pemikiran dan aktivitasnya berada dalam satu garis, ia sadar betul bahwa personal is political.

Setiap pilihan adalah sikap politik. Terbukti pemikirannya berdampak besar terhadap perubahan masyarakat, khususnya terbukanya kesempatan pendidikan bagi perempuan Indonesia pada zaman sesudah wafatnya.

Ia seorang feminis sejati tanpa kehilangan identitasnya sebagai perempuan Jawa yang santun (SI)
Tags: hari kartini
Prev: Maka Libatkan Perempuan...